Senin, 08 Juni 2015

Teori Belajar (Koneksionisme)




A.       Pengertian Teori Koneksionisme

Edward Lee Thorndike lahir di Williamsburg, Massachusets pada 31 Agustus 1874. Adalah seorang Psikolog Amerika yang menghabiskan seluruh karirnya diTeachers college, Columbia University. Karyanya di bidang psikologi Perbandingan danproses pmbelajaran membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern.
Koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) yang mengatakan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon, berdasarkan experimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an.[1]
Eksperimen Thorndike dilakukan terhadap seekor kucing muda yang lapar. Jika kucing menyentuh tombol tertentu, pintu terbuka dan dia dapat lari menuju makanan yang disediakan. Mula-mula, dalam usahanya untuk keluar, dia bergerak dengan bermacam cara. Akhirnya dia keluar dan langsung menuju makanan. Percobaan berulang kali membuktikan bahwa semakin lama, kucing semakin cepat menyentuh tombol dan dengan segera dapat mencapai makanan. Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengertian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Dari eksperimen tersebut Thorndike mengemukakan adanya hukum dalam belajar, yang terdiri dari tiga hukum primer dan lima hukum subsider.[2]

B.       Hukum-Hukum Teori Koneksionisme

1.      Tiga Hukum Primer
a.       Law of readiness dicantumkan dalam buku The Original Nature of Man (1913) memiliki tiga catatan:
1)      Ketika satu unit perilaku siap dilakukan, perilaku tersebut memuaskan.
2)      Jika satu unit perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan terganggu.
3)      Jika satu untit perilaku tidak siap dilakukan dan dipaksa untuk melakukan maka perilaku tersebut akan terganggu.

b.      Law of exercise memiliki dua bagian :
1)      Koneksi antara S-R diperkuat ketika digunakan. Hal ini merupakan law of exercise yang disebut law of use. Kita belajar karena melakukan.
2)      Koneksi situasi dan respon diperlemah ketika tidak dilakukan atau hubungan syarafnya tidak digunakan.  Bagian ini disebut law of disuse. Kita lupa karena tidak melakukan.

c.       Law of effect menyatakan bahwa memperkuat atau memperlemah koneksi antara stimulus dan respon adalah hasil dari konsekuensi respon. Misalnya jika respons diikuti dengan kondisi yang menyenangkan maka koneksi akan meningkat. Jika respon diikuti dengan kondisi yang tidak menyenangkan maka koneksi akan menurun.[3]

2.      Lima hukum sekunder
a.       Law of multiple respons (hukum multiple repons atau variasi reaksi), seseorang dibiarkan membuat reaksi atau respons dan memilih yang paling baik dan mempunyai nilai intrinsik atau hadiah sosial.

b.      Law of attitude (hukum sikap, disposisi, prepenyesuaian diri atau set), orang yang belajar mendapatkan fakta pribadi dari hasil respons, sikap atau set yang tidak hanya dipikirkan dan dikerjakannya, tetapi juga yang dienggani, tidak disukai atau ditolak.

c.       Law of partial activity (hukum aktivitas parsial suatu situasi), untuk menentukan respons variasinya terhadap situasi eksternal, pelajar mengharapkan adanya efek. Usaha tersebut mendapatkan respons dari keseluruhan situasi yang membantu proses berpikir analisis.

d.      Law of respons by analog (hukum respons terhadap analogi), seseorang mengadakan respons terhadap suatu situasi baru dengan analogi yang sungguh-sungguh diilustrasikan situasi tersebut.

e.       Law of associative shifting (hukum perubahan situasi), hukum ini mengatakan bahwa sesuatu respons yang dapat dilakukan dapat dikerjakan dengan cara disosiasikan dengan suatu situasi yang dihayatinya. Oleh karena itu perubahan terjadi secara bertahap dan merespons secara spontan terhadap pengaruh rangsangan yang terdahulu dan kemudian ia membangun hubungan dengan masing-masing rangsangan yang baru disajikan.[4]
Peneletian Thorndike yang pertama mengahasilkan kesimpulan bahwa belajar dimulai dari trial and error. Dalam kondisi tertentu seseorang belajar tidak menggunakan insight, namun sekedar trial and error. Hukum belajar yang dicetuskan membawa implikasi dalam dunia pendidikan. Ada beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan oleh orang-orang yang terjun di dunia pendidikan.
     Hukum readiness mengajarkan kepada pendidik agar memanfaatkan kesiapan belajar yang sudah dimiliki anak didik. Perhatikan konsep pertma dari hukum readiness: ketika satu unit perilaku siap dilakuan, perilaku tersebut memuaskan. Siswa akan merasa puas bila saat dirinya dalam kondisi siap belajar, dan diberikan kesempatan untuk belajar. Hukum readiness yang kedua: jika suatu unit perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan terganggu. Bila siswa sudah siap untuk belajar namun tidak diberi kesempatan, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan, bahkan akan terganggu. Tidak adanya kesempatan belajar terjadi bila guru tidak mengajar atau jam kosong, guru tidak jadi mengadakan ulangan padahal siswa dalam kondisi siap.
Bunyi hukum readinees yang ketiga adalah: jika satu unit perilaku tidak siap dilakukan dan dipaksa untuk melakukan maka perilaku tersebut akan terganggu. Berdasar hukum ini perlu diambil pelajaran bagi pendidik, bahwa aktivitas belajar siswa dan proses pembelajaran baru dilaksanakan setelah siswa benar-benar siap. Tanpa kesiapan dari siswa, tidak akan meraih maksimal, bahkan akan menghambat proses belajar.
Hukum belajar kedua yaitu law of exercise, menekankan pentingnya latihan dalam penguasaan terhadap sesuatu. Thorndike memberi catatan: bahwa latihan akan memperkuat hasil bila siswa tahu hasil dari latihannya. Latihan akan berdampak terhadap peningkatan hasil secara signifikanbila orang belajar mengetahui hasil dari latihannya. Konsep ini merupakan sebagian revisi dari teori Thorndike. Hasil latihan akan berfungsi sebagai feedback untuk memperkuat perilaku. Feedback (umpan balik) sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, agar guru dan siswa masing-masing mengetahui letak kekurangan dan kekuatannya. Umpan balik terhadap aktivitas belajar bisa berupa mengoreksi latihan siswa, dan mengembailkan hasil ujian kepada siswa.
Hukum belajar yang ketiga adalah law of effect, berbicara tentang effect dari perilaku. Perilaku yang berefek menyenangkan cenderung akan diulang atau dipertahankan, begitu juga sebaliknya. Effect yang tidak menyenangkan dirasakan seseorang sebagai punishment, sedangkan effect yang menyenangkan dirasakan sebagai reward. Dalam dunia pendidikan efek dari hukuman bersifat ambigous, membingungkan anak, karena tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Berbeda dengan hadiah, suatu perilaku yang mendapatkan hadiah menunukkan perilaku tersebut benar, artinya bisa diulang pada kesempatan lain. Bila suatu perilaku di-punish, anak tahu bahwa perilaku tesebut tidak boleh diulang, namun tidak mengetahui perilaku apa yang harus dilakukan.
Berdasar itu Thorndike merevisi konsepnya tentang law of effect. Hadiah dipandang lebih efektif sebagai penguat perilaku karena hasilnya nyata atau jelas, sementara hukuman berefek random.[5]
C.     Implementasi Teori Koneksionisme
Implementasi dalam pendidikan, menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Bagaimana mengajar dengan baik?
Mengajar yang baik adalah: mengetahui apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diajarkan, respons apa yang akan diharapkan, dan kapan harus memberi hadiah, serta pentingnya tujuan pendidikan. Untuk itu Thorndike memberi aturan yang sebaiknya dilakukan guru sebagai berikut:
1.      Memperhatikan situasi murid
2.      Menentukan respon yang diharapkan dari situasi tersebut
3.      Sengaja menciptakan hubungan antara respon murid dan stimulusnya
4.      Perhatikan jangan sampai ada situasi lain yang dapat mengganggu hubungan stimulus respon
5.      Bila akan menciptakan hubungan baru, jangan membuat yang sejenis
6.      Ciptakan hubungan yang menghasilkan perbuatan nyata
7.      Upayakan suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
Implementasi di sekolah, teori Thorndike secara lebih khusus dapat diterapkan disekolah untuk merancang pembelajaran secara konkrit. Operasionalnya dapat berupa beberapa point dibawah ini:
1.      Sekolah perlu mempunyai tujuan pendidikan yang jelass
2.      Tujuan pendidikan harus sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing anak
3.      Bahan pelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil
4.      Proses belajar dilakukan secara bertahap
5.      Tekanan pendidikan adalah pada respon yang benar, bukan pada kesalahan anak
6.      Berikan reward terhadap tingkah laku yang benar
7.      Respons yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang
8.      Ujian tes secara teratur perlu diberikan
9.      Buat situasi belajar yang mirip dengan kehidupan nyata
10.  Pendidikan yang baik adalah memberikan pelajaran yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[6]


     [1] Muhibbin Syah, Psikologi belajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2010,  93.
     [2] Mulyati, Psikologi Belajar,  Yogyakarta: Andi,  2005, 38-39.
     [3] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar, Salatiga: STAIN Salatiga Press, hlm. 37
     [4] Mulyati, Psikologi Belajar . . . , 42.
     [5] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar . . . , 40-43
     [6] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar. . . , 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar