A.
Pengertian
Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike lahir di Williamsburg, Massachusets pada 31
Agustus 1874. Adalah seorang Psikolog Amerika yang menghabiskan seluruh
karirnya diTeachers college, Columbia University. Karyanya di bidang psikologi
Perbandingan danproses pmbelajaran membuahkan teori koneksionisme dan membantu
meletakan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern.
Koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) yang mengatakan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan respon, berdasarkan experimen yang ia
lakukan pada tahun 1890-an.[1]
Eksperimen Thorndike dilakukan terhadap seekor kucing muda yang
lapar. Jika kucing menyentuh tombol tertentu, pintu terbuka dan dia dapat lari
menuju makanan yang disediakan. Mula-mula, dalam usahanya untuk keluar, dia
bergerak dengan bermacam cara. Akhirnya dia keluar dan langsung menuju makanan.
Percobaan berulang kali membuktikan bahwa semakin lama, kucing semakin cepat
menyentuh tombol dan dengan segera dapat mencapai makanan. Thorndike
berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan
yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada
binatang tanpa diperantarai pengertian. Binatang melakukan respons-respons
langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Dari eksperimen tersebut Thorndike mengemukakan adanya hukum dalam
belajar, yang terdiri dari tiga hukum primer dan lima hukum subsider.[2]
B.
Hukum-Hukum
Teori Koneksionisme
1.
Tiga
Hukum Primer
a.
Law
of readiness dicantumkan
dalam buku The Original Nature of Man (1913) memiliki tiga catatan:
1)
Ketika
satu unit perilaku siap dilakukan, perilaku tersebut memuaskan.
2)
Jika
satu unit perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan
terganggu.
3)
Jika
satu untit perilaku tidak siap dilakukan dan dipaksa untuk melakukan maka
perilaku tersebut akan terganggu.
b.
Law
of exercise memiliki dua
bagian :
1)
Koneksi
antara S-R diperkuat ketika digunakan. Hal ini merupakan law of exercise yang
disebut law of use. Kita belajar karena melakukan.
2)
Koneksi
situasi dan respon diperlemah ketika tidak dilakukan atau hubungan syarafnya
tidak digunakan. Bagian ini disebut law
of disuse. Kita lupa karena tidak melakukan.
c.
Law
of effect menyatakan bahwa memperkuat atau
memperlemah koneksi antara stimulus dan respon adalah hasil dari konsekuensi
respon. Misalnya jika respons diikuti dengan kondisi yang menyenangkan maka
koneksi akan meningkat. Jika respon diikuti dengan kondisi yang tidak
menyenangkan maka koneksi akan menurun.[3]
2.
Lima
hukum sekunder
a.
Law
of multiple respons (hukum
multiple repons atau variasi reaksi), seseorang dibiarkan membuat reaksi atau
respons dan memilih yang paling baik dan mempunyai nilai intrinsik atau hadiah
sosial.
b.
Law
of attitude (hukum sikap,
disposisi, prepenyesuaian diri atau set), orang yang belajar mendapatkan fakta
pribadi dari hasil respons, sikap atau set yang tidak hanya dipikirkan dan
dikerjakannya, tetapi juga yang dienggani, tidak disukai atau ditolak.
c.
Law
of partial activity (hukum
aktivitas parsial suatu situasi), untuk menentukan respons variasinya terhadap
situasi eksternal, pelajar mengharapkan adanya efek. Usaha tersebut mendapatkan
respons dari keseluruhan situasi yang membantu proses berpikir analisis.
d.
Law
of respons by analog (hukum respons
terhadap analogi), seseorang mengadakan respons terhadap suatu situasi baru
dengan analogi yang sungguh-sungguh diilustrasikan situasi tersebut.
e.
Law
of associative shifting (hukum
perubahan situasi), hukum ini mengatakan bahwa sesuatu
respons yang dapat dilakukan dapat dikerjakan dengan cara disosiasikan dengan
suatu situasi yang dihayatinya. Oleh karena itu perubahan terjadi secara
bertahap dan merespons secara spontan terhadap pengaruh rangsangan yang
terdahulu dan kemudian ia membangun hubungan dengan masing-masing rangsangan
yang baru disajikan.[4]
Peneletian
Thorndike yang pertama mengahasilkan kesimpulan bahwa belajar dimulai dari
trial and error. Dalam kondisi tertentu seseorang belajar tidak menggunakan
insight, namun sekedar trial and error. Hukum belajar yang dicetuskan membawa
implikasi dalam dunia pendidikan. Ada beberapa konsep mendasar yang perlu
diperhatikan oleh orang-orang yang terjun di dunia pendidikan.
Hukum readiness
mengajarkan kepada pendidik agar memanfaatkan kesiapan belajar yang sudah
dimiliki anak didik. Perhatikan konsep pertma dari hukum readiness: ketika
satu unit perilaku siap dilakuan, perilaku tersebut memuaskan. Siswa akan
merasa puas bila saat dirinya dalam kondisi siap belajar, dan diberikan
kesempatan untuk belajar. Hukum readiness yang kedua: jika suatu unit
perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan terganggu.
Bila siswa sudah siap untuk belajar namun tidak diberi kesempatan, hal tersebut
akan menimbulkan ketidakpuasan, bahkan akan terganggu. Tidak adanya kesempatan belajar
terjadi bila guru tidak mengajar atau jam kosong, guru tidak jadi mengadakan
ulangan padahal siswa dalam kondisi siap.
Bunyi hukum
readinees yang ketiga adalah: jika satu unit perilaku tidak siap dilakukan
dan dipaksa untuk melakukan maka perilaku tersebut akan terganggu. Berdasar
hukum ini perlu diambil pelajaran bagi pendidik, bahwa aktivitas belajar siswa
dan proses pembelajaran baru dilaksanakan setelah siswa benar-benar siap. Tanpa
kesiapan dari siswa, tidak akan meraih maksimal, bahkan akan menghambat proses
belajar.
Hukum belajar
kedua yaitu law of exercise, menekankan pentingnya latihan dalam penguasaan
terhadap sesuatu. Thorndike memberi catatan: bahwa latihan akan memperkuat
hasil bila siswa tahu hasil dari latihannya. Latihan akan berdampak terhadap
peningkatan hasil secara signifikanbila orang belajar mengetahui hasil dari
latihannya. Konsep ini merupakan sebagian revisi dari teori Thorndike. Hasil
latihan akan berfungsi sebagai feedback untuk memperkuat perilaku. Feedback
(umpan balik) sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, agar guru dan siswa
masing-masing mengetahui letak kekurangan dan kekuatannya. Umpan balik terhadap
aktivitas belajar bisa berupa mengoreksi latihan siswa, dan mengembailkan hasil
ujian kepada siswa.
Hukum belajar
yang ketiga adalah law of effect, berbicara tentang effect dari perilaku.
Perilaku yang berefek menyenangkan cenderung akan diulang atau dipertahankan,
begitu juga sebaliknya. Effect yang tidak menyenangkan dirasakan seseorang
sebagai punishment, sedangkan effect yang menyenangkan dirasakan sebagai
reward. Dalam dunia pendidikan efek dari hukuman bersifat ambigous,
membingungkan anak, karena tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk
memperbaikinya. Berbeda dengan hadiah, suatu perilaku yang mendapatkan hadiah
menunukkan perilaku tersebut benar, artinya bisa diulang pada kesempatan lain.
Bila suatu perilaku di-punish, anak tahu bahwa perilaku tesebut tidak boleh
diulang, namun tidak mengetahui perilaku apa yang harus dilakukan.
Berdasar itu
Thorndike merevisi konsepnya tentang law of effect. Hadiah dipandang lebih
efektif sebagai penguat perilaku karena hasilnya nyata atau jelas, sementara
hukuman berefek random.[5]
C.
Implementasi
Teori Koneksionisme
Implementasi
dalam pendidikan, menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara
ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Bagaimana
mengajar dengan baik?
Mengajar yang baik adalah: mengetahui apa yang hendak diajarkan,
artinya tahu materi apa yang akan diajarkan, respons apa yang akan diharapkan,
dan kapan harus memberi hadiah, serta pentingnya tujuan pendidikan. Untuk itu
Thorndike memberi aturan yang sebaiknya dilakukan guru sebagai berikut:
1.
Memperhatikan
situasi murid
2.
Menentukan
respon yang diharapkan dari situasi tersebut
3.
Sengaja
menciptakan hubungan antara respon murid dan stimulusnya
4.
Perhatikan
jangan sampai ada situasi lain yang dapat mengganggu hubungan stimulus respon
5.
Bila
akan menciptakan hubungan baru, jangan membuat yang sejenis
6.
Ciptakan
hubungan yang menghasilkan perbuatan nyata
7.
Upayakan
suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
Implementasi di
sekolah, teori Thorndike secara lebih khusus dapat diterapkan disekolah untuk
merancang pembelajaran secara konkrit. Operasionalnya dapat berupa beberapa
point dibawah ini:
1.
Sekolah
perlu mempunyai tujuan pendidikan yang jelass
2.
Tujuan
pendidikan harus sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing anak
3.
Bahan
pelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil
4.
Proses
belajar dilakukan secara bertahap
5.
Tekanan
pendidikan adalah pada respon yang benar, bukan pada kesalahan anak
6.
Berikan
reward terhadap tingkah laku yang benar
7.
Respons
yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang
8.
Ujian
tes secara teratur perlu diberikan
9.
Buat
situasi belajar yang mirip dengan kehidupan nyata
10.
Pendidikan
yang baik adalah memberikan pelajaran yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar