A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan
sehari-hari kita tidak boleh seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh
Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf,
baik yang berkaitan dengan hukum taklifi maupun yang terkait dengan hukum
wadh’i. Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut
Mahkum Fiih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan
hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait
dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fiih, berikut penjelasan dari mahkum
fiih.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mahkum Fiih
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ اَلَّذِىْ
تَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِهِ اَلْمَحْكُومْ فِيْهِ هُوَ (Mahkum fiih adalah Perbuatan
mukallaf yang dibebani hukum atasnya). Firman Allah SWT:
يَا
اَيُّهَا اَّلذِيْنَ اَمَنُوْ آَوْفُوْ بَالْعُقُوْدِ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad itu(Q.S 5, al-Maidah:1)
Contoh
ayat diatas, menjelaskan hukum kewajiban (ijab), yang berhubungan dengan
perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji
(penuhilah akad itu) Maka “ijab”
menjadikan memenuhi janji itu adalah wajib.
firman Allah SWT:
يَا
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلي أَجَلٍ مُسَمَّي
فَاكْتُبُوْهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya (Q.S 2, al-Baqoroh:282)
Contoh
ayat diatas, menjelaskan hukum sunat (nadb), yang berhubungan dengan perbuatan
di antara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu mencatat piutang (hendaknya kamu
mencatatnya). Maka nadb menjadikan mencatat piutang itu adalah sunat.
Firman
Allah SWT:
وَلَا
تَقْتُلُوالنَّفْسَ
Artinya:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa. (Q.S 3, al-An’am 151). (Khalaf.1991: 201)
Contoh
ayat diatas, menjelaskan hukum haram (tahrim), yang berhubungan dengan
perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa (dan
janganlah kamu membunuh jiwa). Maka tahrim menjadikan membunuh jiwa itu adalah
haram.
Firman
Allah SWT:
وَلاَ
تَيَمَّمُواالْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ
Artinya:
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya.
(Q.S 2,al-Baqoroh:272)
Contoh
ayat diatas menjelaskan hukum makruh (karohah), yang berhubungan dengan
perbuatan diantara pebuatan-perbuatan mukallaf, yaitu infaq (janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan). Maka karohah itu menjadikan
perbuatan infaq itu makruh.
Firman Allah SWT:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَي سَفَرً فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: maka jika diantara kamu ada
yang sakit atau dalm perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah bagimu
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Q.S 2,
al-Baqoroh:184)
Contoh
ayat diatas, menjelaskan hukum kebolehan (ibahah), yang berhubungan dengan
sakit dan bepergian, maka kebolehan itu menjadikan masing-masing sakit dan
bepergian itu membolehkan berbuka. (Khallaf:1991:202)
2.
Syarat Sahnya Tuntutan Dengan Perbuatan
Didalam
perbuatan yang syah tuntutannya menurut syari’, disyaratkan adanya tiga syarat:
a. perbuatan
itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan
tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan
Atas
dasar ini, maka tidak sah menuntut mukallaf dengan nash-nash yang global kecuali
setelah terdapat penjelasan dari Rosulullah SAW. Jadi firman Allah SWT:
أَقِيْمُوالصَّلواة
Artinya: Dirikanlah sholat: Adalah nash
al-Qur’an yang belum menjelasakan rukun-rukun sholat, syarat-syaratnya dan cara
menunaikannya. Maka bagaimana bisa dituntut dengan sholat, orang yang tidak
mengetahui rukun-rukunya, syarat-syaratnya dan cara menunaikannya. Karena itu
Rasulullah menjelaskan keglobalan nash ini dan bersabda:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Artinya: Sholatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku sedang menunaikan sholat.
Begitu
juga dalm hal haji, puasa, zakat dan setiap perbuatan yang berhubungan dengan
khitab syari’ yang global, yang tidak
diketaui maksudnya. Tidak sah menggunakan tuntutan dengan khitab yang global
itu. Tidak sah pula menuntut mukallaf untuk mengikutinya kecuali setelah ada
penjelasan mengenai hal itu. Karena itu Allah telah memberi kekuasaan kepada
Rosulnya dengan firman-Nya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu
al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturukan
kepada mereka (Q.S 16, an-Nahl:44)
Dan
Rasulullah telah menjelaskan keglobalan nash didalam al-Quran dengan sunahnya
yang bersifat ucapan dan perbuatan..
b. diketahui
bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut, atau dari
orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf. Karena dengan
pengetahuan ini tertujulah keinginannya
untuk mengikutinya. (Khallaf:1991:204)
c. perbuatan
yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin bisa dilakukan atau ada
kemampuan mukallaf untuk mengerjakan (mencegahnya). Dari syarat ini
bercabanglah dua hal:
1) Menurut
syara’ tidak sah membebani hal yang mustahil yang tidak mungkin bisa dilakukan.
2) Menurut
syara’ tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjkan perbuatan atau
mencagahnya. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلي الله عليه وسلم أوصني قال لاتقضب
فردد مرار قال: لا تقضب (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a bahwa ada seseorang yang berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, berilah aku
pesan!” Beliau bersabda, “janganlah kamu marah!” orang itu mengulang-ulang
permohonannya, namun Nabi tetap saja hanya berpesan. “janganlah kamu maarah!”
(HR. Al-Bukhari)
(لاَتَغْضَبْ) ”Jangan
marah”. Lahirnya (larangan ini) adalah beban menahan hal yang bersifat naluri,
bukan bersifat usaha manusia yaitu menahan marah ketika ada faktor-faktor yang
mendorong untuk marah. Tetapi pada hakikatnya adalah bebean mencagah hal-hal
yang dapat menimbulkan amarah. Dan mencagah menimbulkan amarah dari pergolakan
jiwa dan manifestasi keinginan untuk membalas. Maka yang di maksud ialah tahanlah
dirimu ketika marah, dan jagalah diri dari pengaruhnya yang jelek.
(Khallaf:1991:208)
3.
Pembagian Musaqot (Kesulitan)
Setiap yang dibebankan kepada manusia
tidak lepas dari macam kesulitan. Karena beban atau taklif itu menetapkan
sesuatu yang mengandung kesusahan atau kesulitan, dan kesulitan (masyaqat) itu ada
dua macam:
a. kesulitan
yang sudah menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya, dan kesulitan itu
masih ada di batas-batas kemampuan mereka, seperti kesulitan-kesulitan yang
senantiasa ada pada manusia waktu
mencari rejeki berupa bercocok tanam, berdagang
dan lain-lainnya.
Kesulitan
kepayahan itu adalah media untuk sampai kepada tujuan dan keuntungan-keuntungan
yang harus dipunyai manusia untuk menegakkan kehidupannya. (Khallaf:1991:210)
b. kesulitan
yang keluar dari kebiasaan manusia. Tidak mungkin mereka dapat senantiasa
menanggungnya. Karena meraka ketika senantiasa menanggung kesulitan itu akan
mendapatkan kemelaratan serta kesakitan pada dirinya dan hartanya, atau
sebagian dari keadaannya. Seperti puasa dengan berdiri sambil menatap matahari,
Nabi bersabda:
أَتِمَّ
صَوْمَكَ وَلاَتَقُمْ فِى الشَّمْس
Artinya:
Sempurnakan puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari.
Kesulitan
seperti inilah yang syari’ tidak membebani, karena beban-beban itu dapat mendatangkan
kesulitan, dan mukallaf tidak harus menanggungnya. Maka kesulitan yang termasuk macam ini,
apabila amal yang dibebankan mendatangkan kesulitan, maka Allah SWT telah
menolak kesulitan itu dengan mensyariatkan hukum rukhsah.
(Khallaf:1991:212)
4.
Pembagian Qudrat (Kekuasaan, Kesanggupan)
Para ahli Ushul Hanafiyah membagi
qudrat kepada dua bagian:
1 Qudrat
mumakkinah, ialah:
سَلاَ مَةُ أَلاَتِ الْفِعْلِ وَصِحَّةُ
اَسْبَابِهِ
“kesanggupan
yang terdapat pada seorang mukallaf untuk menyelenggarakan sesuatu suruhan,
baik suruhan itu mengenai badan maupun mengenai hati. Dengan ada qudrat itu
mudahlah mukallaf melaksanakan kewajiban”.
Contohnya
seperti: qudratnya yang ada pada orang sehat wal ‘afiat, segar bugar dan di
wajibkan untuk menunaikan sholat. Seseorang yang mempunyai qudrat mumakkinah,
wajib atasnya menunaikan kewajibannya di dalam waktunya. Jika ia tidak
menjalankan kewajibannya,ia tinggalkan tanpa ada halangan, berdosalah ia, dan
wajib mengqadla yang ada qadlanya. (Shiddieqy:1981:225)
2 Qudrat
muyassirah, ialah:
هِىَ
الزَّائِدَةُ عَلَى مِقْدَارِ التَّمَكُّنِ بِالْيُسْرِ
“qudrat
yang melebihi qudrat yang telah lalu”
Yakni:
selain dari mempunyai kesejahteraan alat, juga mempunyai kesempatan atau
kelapangan untuk menunaikannya, seperti zakat. (Shiddieqy:1981:226)
5.
Jenis-Jenis Amal Yang Menjadi Bidang Perpautan Hukum
Apabila kita selidiki
pekerjaan-pekerjaan kita yang disangkutkan hukum kepadanya, nyatalah
pkerjaan-pekerjaan itu terbagi kepada beberapa bagian:
a. Pekerjaan-pekerjaan
yang dipandang hak Allah semata
مَا هُوَ حَقٌّ اللهِ تَعَالَى خَالصًاً
Yaitu:
segala yang umum manfaatnya, bagian ini terbagi kedalam delapan bagian:
1) Pekerjaan-pekerjaan
yang dipandang ibadah semata,seperti: iman,shalat, shiyam, haji, umrah dan
jihad
2) Pekerjaan-pekerjan
yang didalamnya terasa beban dan diwajibkan, seperti: nafaqah.
3) Pekerjaan-pekerjaan
yang dikerjakan lantaran orang lain, tetapi mengandung pengertian ibadat.
4) Pekerjaan-pekerjaan
yang terasa berat bagi kita untuk melaksanakannya karena orang lain dan
mengandung pemaksaan.
5) Pekerjaan-pekerjaan
yang tidak bersangkut dengan tanggungan seseorang
6) Pekerjaan-pekerjaan
yang semata-mata pemaksaan.
7) Pekerjaan-pekerjaan
yang dipandang setengah pemaksaan
8) Pekerjaan-pekerjaan
yang mengandung ibadat dan pemaksaan (Shiddieqy:1981:229)
b. Pekerjaan-pekerjaan
yang semata-mata dipandang hak hamba.
مَاهُوَحَقُّ الْعِبَادِصِرْفًا.
Pekerjaan semacam ini ialah seperti:
membayar harga barang yang kita rusakkan, memiliki barang yang dibeli dan
sebagainya.
c. Pekerjaan-pekerjaan
yang berkumpul padanya hak Allah dan hak hamba. Akan tetapi hak Allah lebih
menonjol.
مَااجْتَمَعَ فِيْهِ الْحَقَّانِ وَحَقُّ
الْلهِ غَالِبٌ.
d. Pekerjaan-pekerjaan
yang berkumpul padanya hak Allah dan hak hamba. Akan tetapi hak hamba lebih
menonjol.
مَااجْتَمَعَ فِيْهِ الْحَقَّانِ وَحَقُّ
الْعَبْدِ غَالِبٌ.
Bagian ini ditamsilkan dengan qishas (menuntut bela). Karena hak hamba lebih besar, boleh bagi hamba
yang mempunyai hak itu mengambil dhiyat saja dan boleh pula baginya memaafkan
saja.
segala pekerjaan yang menghasilkan
manfaat umum, dinamai: haq Allah. Dan segala pekerjaan yang menghasilkan
manfaat khusus, dinamai: hak hamba. Setiap
perbuatan yang dipandang hak hamba, boleh untuk digugurkan atau
dihilangkan. Dan setiap perbuatan yang dihukumi hak Allah, tidak boleh
digugurkan atau dihilangkan,.(Shiddieqy:1981:231
C. Kesimpulan
Semua
perbuatan yang berhubungan dengan hukum syara’ dinamakan Mahkum Fiih. Akan
tetapi ada syarat-syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek
hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami
kesulitan-kesulitan (musyaqat). Ada yang mampu diatasi oleh manusia ada juga
yang tidak mampu dilakukan. Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitab syar’i
(tuntutan syar’i) maka sudah dikenakan taklif atau beban.
Daftar
Pustaka
Khallaf,
Abdul Wahab. 1991. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: CV RAJAWALI.
Ash
Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: BULAN BINTANG