Senin, 08 Juni 2015

Al Mahkum Fiih



                           
A. PENDAHULUAN
            Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkaitan dengan hukum taklifi maupun yang terkait dengan hukum wadh’i. Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut Mahkum Fiih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fiih, berikut penjelasan dari mahkum fiih. 
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mahkum Fiih
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ اَلَّذِىْ تَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِهِ اَلْمَحْكُومْ فِيْهِ هُوَ (Mahkum fiih adalah Perbuatan mukallaf yang dibebani hukum atasnya). Firman Allah SWT:
يَا اَيُّهَا اَّلذِيْنَ اَمَنُوْ آَوْفُوْ بَالْعُقُوْدِ   
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad itu(Q.S 5, al-Maidah:1)
Contoh ayat diatas, menjelaskan hukum kewajiban (ijab), yang berhubungan dengan perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji (penuhilah akad itu)  Maka “ijab” menjadikan memenuhi janji itu adalah wajib.
 firman Allah SWT:
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلي أَجَلٍ مُسَمَّي فَاكْتُبُوْهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Q.S 2, al-Baqoroh:282)
Contoh ayat diatas, menjelaskan hukum sunat (nadb), yang berhubungan dengan perbuatan di antara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu mencatat piutang (hendaknya kamu mencatatnya). Maka nadb menjadikan mencatat piutang itu adalah sunat.
Firman Allah SWT:
وَلَا تَقْتُلُوالنَّفْسَ
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa. (Q.S 3, al-An’am 151). (Khalaf.1991: 201)
Contoh ayat diatas, menjelaskan hukum haram (tahrim), yang berhubungan dengan perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa (dan janganlah kamu membunuh jiwa). Maka tahrim menjadikan membunuh jiwa itu adalah haram.
Firman Allah SWT:
وَلاَ تَيَمَّمُواالْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya. (Q.S 2,al-Baqoroh:272)
Contoh ayat diatas menjelaskan hukum makruh (karohah), yang berhubungan dengan perbuatan diantara pebuatan-perbuatan mukallaf, yaitu infaq (janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan). Maka karohah itu menjadikan perbuatan infaq itu makruh.
            Firman Allah SWT:    
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلَي سَفَرً فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalm perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah bagimu berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Q.S 2, al-Baqoroh:184)

Contoh ayat diatas, menjelaskan hukum kebolehan (ibahah), yang berhubungan dengan sakit dan bepergian, maka kebolehan itu menjadikan masing-masing sakit dan bepergian itu membolehkan berbuka. (Khallaf:1991:202)
2. Syarat Sahnya Tuntutan Dengan Perbuatan
Didalam perbuatan yang syah tuntutannya menurut syari’, disyaratkan adanya tiga syarat:
a.       perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan
Atas dasar ini, maka tidak sah menuntut mukallaf dengan nash-nash yang global kecuali setelah terdapat penjelasan dari Rosulullah SAW. Jadi firman Allah SWT:
أَقِيْمُوالصَّلواة
Artinya: Dirikanlah sholat: Adalah nash al-Qur’an yang belum menjelasakan rukun-rukun sholat, syarat-syaratnya dan cara menunaikannya. Maka bagaimana bisa dituntut dengan sholat, orang yang tidak mengetahui rukun-rukunya, syarat-syaratnya dan cara menunaikannya. Karena itu Rasulullah menjelaskan keglobalan nash ini dan bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Artinya: Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunaikan sholat.
Begitu juga dalm hal haji, puasa, zakat dan setiap perbuatan yang berhubungan dengan khitab syari’ yang global, yang  tidak diketaui maksudnya. Tidak sah menggunakan tuntutan dengan khitab yang global itu. Tidak sah pula menuntut mukallaf untuk mengikutinya kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu. Karena itu Allah telah memberi kekuasaan kepada Rosulnya dengan firman-Nya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Artinya: Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturukan kepada mereka (Q.S 16, an-Nahl:44)
Dan Rasulullah telah menjelaskan keglobalan nash didalam al-Quran dengan sunahnya yang bersifat ucapan dan perbuatan..
b.      diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut, atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini  tertujulah keinginannya untuk mengikutinya. (Khallaf:1991:204)
c.       perbuatan yang dituntut itu adalah perbuatan yang mungkin bisa dilakukan atau ada kemampuan mukallaf untuk mengerjakan (mencegahnya). Dari syarat ini bercabanglah dua hal:
1)      Menurut syara’ tidak sah membebani hal yang mustahil yang tidak mungkin bisa dilakukan.
2)      Menurut syara’ tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjkan perbuatan atau mencagahnya. Contohnya seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلي الله عليه وسلم أوصني قال لاتقضب فردد مرار              قال: لا تقضب (رواه البخاري)
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa ada seseorang yang berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, berilah aku pesan!” Beliau bersabda, “janganlah kamu marah!” orang itu mengulang-ulang permohonannya, namun Nabi tetap saja hanya berpesan. “janganlah kamu maarah!” (HR. Al-Bukhari)
(لاَتَغْضَبْ)   ”Jangan marah”. Lahirnya (larangan ini) adalah beban menahan hal yang bersifat naluri, bukan bersifat usaha manusia yaitu menahan marah ketika ada faktor-faktor yang mendorong untuk marah. Tetapi pada hakikatnya adalah bebean mencagah hal-hal yang dapat menimbulkan amarah. Dan mencagah menimbulkan amarah dari pergolakan jiwa dan manifestasi keinginan untuk membalas. Maka yang di maksud ialah tahanlah dirimu ketika marah, dan jagalah diri dari pengaruhnya yang jelek. (Khallaf:1991:208)
 
3. Pembagian Musaqot (Kesulitan)
Setiap yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari macam kesulitan. Karena beban atau taklif itu menetapkan sesuatu yang mengandung kesusahan atau kesulitan, dan kesulitan (masyaqat) itu ada dua macam:
a.       kesulitan yang sudah menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya, dan kesulitan itu masih ada di batas-batas kemampuan mereka, seperti kesulitan-kesulitan yang senantiasa  ada pada manusia waktu mencari rejeki  berupa bercocok tanam, berdagang dan lain-lainnya.
Kesulitan kepayahan itu adalah media untuk sampai kepada tujuan dan keuntungan-keuntungan yang harus dipunyai manusia untuk menegakkan kehidupannya. (Khallaf:1991:210)
b.      kesulitan yang keluar dari kebiasaan manusia. Tidak mungkin mereka dapat senantiasa menanggungnya. Karena meraka ketika senantiasa menanggung kesulitan itu akan mendapatkan kemelaratan serta kesakitan pada dirinya dan hartanya, atau sebagian dari keadaannya. Seperti puasa dengan berdiri sambil menatap matahari, Nabi bersabda:
أَتِمَّ صَوْمَكَ وَلاَتَقُمْ فِى الشَّمْس
Artinya: Sempurnakan puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari.
Kesulitan seperti inilah yang syari’ tidak membebani, karena beban-beban itu dapat mendatangkan kesulitan, dan mukallaf tidak harus menanggungnya. Maka kesulitan yang termasuk macam ini, apabila amal yang dibebankan mendatangkan kesulitan, maka Allah SWT telah menolak kesulitan itu dengan mensyariatkan hukum rukhsah. (Khallaf:1991:212)
4. Pembagian Qudrat (Kekuasaan, Kesanggupan)
            Para ahli Ushul Hanafiyah membagi qudrat kepada dua bagian:
1      Qudrat mumakkinah, ialah:


سَلاَ مَةُ أَلاَتِ الْفِعْلِ وَصِحَّةُ اَسْبَابِهِ
kesanggupan yang terdapat pada seorang mukallaf untuk menyelenggarakan sesuatu suruhan, baik suruhan itu mengenai badan maupun mengenai hati. Dengan ada qudrat itu mudahlah mukallaf melaksanakan kewajiban”.
Contohnya seperti: qudratnya yang ada pada orang sehat wal ‘afiat, segar bugar dan di wajibkan untuk menunaikan sholat. Seseorang yang mempunyai qudrat mumakkinah, wajib atasnya menunaikan kewajibannya di dalam waktunya. Jika ia tidak menjalankan kewajibannya,ia tinggalkan tanpa ada halangan, berdosalah ia, dan wajib mengqadla yang ada qadlanya. (Shiddieqy:1981:225)
2      Qudrat muyassirah, ialah:

هِىَ الزَّائِدَةُ عَلَى مِقْدَارِ التَّمَكُّنِ بِالْيُسْرِ
“qudrat yang melebihi qudrat yang telah lalu”
Yakni: selain dari mempunyai kesejahteraan alat, juga mempunyai kesempatan atau kelapangan untuk menunaikannya, seperti zakat. (Shiddieqy:1981:226)
5. Jenis-Jenis Amal Yang Menjadi Bidang Perpautan Hukum
Apabila kita selidiki pekerjaan-pekerjaan kita yang disangkutkan hukum kepadanya, nyatalah pkerjaan-pekerjaan itu terbagi kepada beberapa bagian:
a.       Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata
مَا هُوَ حَقٌّ اللهِ تَعَالَى خَالصًاً
Yaitu: segala yang umum manfaatnya, bagian ini terbagi kedalam delapan bagian:
1)      Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadah semata,seperti: iman,shalat, shiyam, haji, umrah dan jihad
2)      Pekerjaan-pekerjan yang didalamnya terasa beban dan diwajibkan, seperti: nafaqah.
3)      Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain, tetapi mengandung pengertian ibadat.


4)      Pekerjaan-pekerjaan yang terasa berat bagi kita untuk melaksanakannya karena orang lain dan mengandung pemaksaan.
5)      Pekerjaan-pekerjaan yang tidak bersangkut dengan tanggungan seseorang
6)      Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata pemaksaan.
7)      Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah pemaksaan
8)      Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadat dan pemaksaan (Shiddieqy:1981:229)
b.      Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata dipandang hak hamba.
مَاهُوَحَقُّ الْعِبَادِصِرْفًا.
Pekerjaan semacam ini ialah seperti: membayar harga barang yang kita rusakkan, memiliki barang yang dibeli dan sebagainya.
c.       Pekerjaan-pekerjaan yang berkumpul padanya hak Allah dan hak hamba. Akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
مَااجْتَمَعَ فِيْهِ الْحَقَّانِ وَحَقُّ الْلهِ غَالِبٌ.

d.      Pekerjaan-pekerjaan yang berkumpul padanya hak Allah dan hak hamba. Akan tetapi hak hamba lebih menonjol.
مَااجْتَمَعَ فِيْهِ الْحَقَّانِ وَحَقُّ الْعَبْدِ غَالِبٌ.
Bagian ini ditamsilkan dengan qishas (menuntut bela). Karena hak hamba lebih besar, boleh bagi hamba yang mempunyai hak itu mengambil dhiyat saja dan boleh pula baginya memaafkan saja.
segala pekerjaan yang menghasilkan manfaat umum, dinamai: haq Allah. Dan segala pekerjaan yang menghasilkan manfaat khusus, dinamai: hak hamba.  Setiap  perbuatan yang dipandang hak hamba, boleh untuk digugurkan atau dihilangkan. Dan setiap perbuatan yang dihukumi hak Allah, tidak boleh digugurkan atau dihilangkan,.(Shiddieqy:1981:231


C. Kesimpulan
Semua perbuatan yang berhubungan dengan hukum syara’ dinamakan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada syarat-syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (musyaqat). Ada yang mampu diatasi oleh manusia ada juga yang tidak mampu dilakukan. Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitab syar’i (tuntutan syar’i) maka sudah dikenakan taklif atau beban.

Daftar Pustaka
Khallaf, Abdul Wahab. 1991. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: CV RAJAWALI.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: BULAN BINTANG

Teori Belajar (Koneksionisme)




A.       Pengertian Teori Koneksionisme

Edward Lee Thorndike lahir di Williamsburg, Massachusets pada 31 Agustus 1874. Adalah seorang Psikolog Amerika yang menghabiskan seluruh karirnya diTeachers college, Columbia University. Karyanya di bidang psikologi Perbandingan danproses pmbelajaran membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern.
Koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) yang mengatakan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon, berdasarkan experimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an.[1]
Eksperimen Thorndike dilakukan terhadap seekor kucing muda yang lapar. Jika kucing menyentuh tombol tertentu, pintu terbuka dan dia dapat lari menuju makanan yang disediakan. Mula-mula, dalam usahanya untuk keluar, dia bergerak dengan bermacam cara. Akhirnya dia keluar dan langsung menuju makanan. Percobaan berulang kali membuktikan bahwa semakin lama, kucing semakin cepat menyentuh tombol dan dengan segera dapat mencapai makanan. Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengertian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Dari eksperimen tersebut Thorndike mengemukakan adanya hukum dalam belajar, yang terdiri dari tiga hukum primer dan lima hukum subsider.[2]

B.       Hukum-Hukum Teori Koneksionisme

1.      Tiga Hukum Primer
a.       Law of readiness dicantumkan dalam buku The Original Nature of Man (1913) memiliki tiga catatan:
1)      Ketika satu unit perilaku siap dilakukan, perilaku tersebut memuaskan.
2)      Jika satu unit perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan terganggu.
3)      Jika satu untit perilaku tidak siap dilakukan dan dipaksa untuk melakukan maka perilaku tersebut akan terganggu.

b.      Law of exercise memiliki dua bagian :
1)      Koneksi antara S-R diperkuat ketika digunakan. Hal ini merupakan law of exercise yang disebut law of use. Kita belajar karena melakukan.
2)      Koneksi situasi dan respon diperlemah ketika tidak dilakukan atau hubungan syarafnya tidak digunakan.  Bagian ini disebut law of disuse. Kita lupa karena tidak melakukan.

c.       Law of effect menyatakan bahwa memperkuat atau memperlemah koneksi antara stimulus dan respon adalah hasil dari konsekuensi respon. Misalnya jika respons diikuti dengan kondisi yang menyenangkan maka koneksi akan meningkat. Jika respon diikuti dengan kondisi yang tidak menyenangkan maka koneksi akan menurun.[3]

2.      Lima hukum sekunder
a.       Law of multiple respons (hukum multiple repons atau variasi reaksi), seseorang dibiarkan membuat reaksi atau respons dan memilih yang paling baik dan mempunyai nilai intrinsik atau hadiah sosial.

b.      Law of attitude (hukum sikap, disposisi, prepenyesuaian diri atau set), orang yang belajar mendapatkan fakta pribadi dari hasil respons, sikap atau set yang tidak hanya dipikirkan dan dikerjakannya, tetapi juga yang dienggani, tidak disukai atau ditolak.

c.       Law of partial activity (hukum aktivitas parsial suatu situasi), untuk menentukan respons variasinya terhadap situasi eksternal, pelajar mengharapkan adanya efek. Usaha tersebut mendapatkan respons dari keseluruhan situasi yang membantu proses berpikir analisis.

d.      Law of respons by analog (hukum respons terhadap analogi), seseorang mengadakan respons terhadap suatu situasi baru dengan analogi yang sungguh-sungguh diilustrasikan situasi tersebut.

e.       Law of associative shifting (hukum perubahan situasi), hukum ini mengatakan bahwa sesuatu respons yang dapat dilakukan dapat dikerjakan dengan cara disosiasikan dengan suatu situasi yang dihayatinya. Oleh karena itu perubahan terjadi secara bertahap dan merespons secara spontan terhadap pengaruh rangsangan yang terdahulu dan kemudian ia membangun hubungan dengan masing-masing rangsangan yang baru disajikan.[4]
Peneletian Thorndike yang pertama mengahasilkan kesimpulan bahwa belajar dimulai dari trial and error. Dalam kondisi tertentu seseorang belajar tidak menggunakan insight, namun sekedar trial and error. Hukum belajar yang dicetuskan membawa implikasi dalam dunia pendidikan. Ada beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan oleh orang-orang yang terjun di dunia pendidikan.
     Hukum readiness mengajarkan kepada pendidik agar memanfaatkan kesiapan belajar yang sudah dimiliki anak didik. Perhatikan konsep pertma dari hukum readiness: ketika satu unit perilaku siap dilakuan, perilaku tersebut memuaskan. Siswa akan merasa puas bila saat dirinya dalam kondisi siap belajar, dan diberikan kesempatan untuk belajar. Hukum readiness yang kedua: jika suatu unit perilaku siap untuk dilakukan tapi tidak dilakukan maka akan terganggu. Bila siswa sudah siap untuk belajar namun tidak diberi kesempatan, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan, bahkan akan terganggu. Tidak adanya kesempatan belajar terjadi bila guru tidak mengajar atau jam kosong, guru tidak jadi mengadakan ulangan padahal siswa dalam kondisi siap.
Bunyi hukum readinees yang ketiga adalah: jika satu unit perilaku tidak siap dilakukan dan dipaksa untuk melakukan maka perilaku tersebut akan terganggu. Berdasar hukum ini perlu diambil pelajaran bagi pendidik, bahwa aktivitas belajar siswa dan proses pembelajaran baru dilaksanakan setelah siswa benar-benar siap. Tanpa kesiapan dari siswa, tidak akan meraih maksimal, bahkan akan menghambat proses belajar.
Hukum belajar kedua yaitu law of exercise, menekankan pentingnya latihan dalam penguasaan terhadap sesuatu. Thorndike memberi catatan: bahwa latihan akan memperkuat hasil bila siswa tahu hasil dari latihannya. Latihan akan berdampak terhadap peningkatan hasil secara signifikanbila orang belajar mengetahui hasil dari latihannya. Konsep ini merupakan sebagian revisi dari teori Thorndike. Hasil latihan akan berfungsi sebagai feedback untuk memperkuat perilaku. Feedback (umpan balik) sangat dibutuhkan dalam pembelajaran, agar guru dan siswa masing-masing mengetahui letak kekurangan dan kekuatannya. Umpan balik terhadap aktivitas belajar bisa berupa mengoreksi latihan siswa, dan mengembailkan hasil ujian kepada siswa.
Hukum belajar yang ketiga adalah law of effect, berbicara tentang effect dari perilaku. Perilaku yang berefek menyenangkan cenderung akan diulang atau dipertahankan, begitu juga sebaliknya. Effect yang tidak menyenangkan dirasakan seseorang sebagai punishment, sedangkan effect yang menyenangkan dirasakan sebagai reward. Dalam dunia pendidikan efek dari hukuman bersifat ambigous, membingungkan anak, karena tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya. Berbeda dengan hadiah, suatu perilaku yang mendapatkan hadiah menunukkan perilaku tersebut benar, artinya bisa diulang pada kesempatan lain. Bila suatu perilaku di-punish, anak tahu bahwa perilaku tesebut tidak boleh diulang, namun tidak mengetahui perilaku apa yang harus dilakukan.
Berdasar itu Thorndike merevisi konsepnya tentang law of effect. Hadiah dipandang lebih efektif sebagai penguat perilaku karena hasilnya nyata atau jelas, sementara hukuman berefek random.[5]
C.     Implementasi Teori Koneksionisme
Implementasi dalam pendidikan, menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Bagaimana mengajar dengan baik?
Mengajar yang baik adalah: mengetahui apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diajarkan, respons apa yang akan diharapkan, dan kapan harus memberi hadiah, serta pentingnya tujuan pendidikan. Untuk itu Thorndike memberi aturan yang sebaiknya dilakukan guru sebagai berikut:
1.      Memperhatikan situasi murid
2.      Menentukan respon yang diharapkan dari situasi tersebut
3.      Sengaja menciptakan hubungan antara respon murid dan stimulusnya
4.      Perhatikan jangan sampai ada situasi lain yang dapat mengganggu hubungan stimulus respon
5.      Bila akan menciptakan hubungan baru, jangan membuat yang sejenis
6.      Ciptakan hubungan yang menghasilkan perbuatan nyata
7.      Upayakan suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
Implementasi di sekolah, teori Thorndike secara lebih khusus dapat diterapkan disekolah untuk merancang pembelajaran secara konkrit. Operasionalnya dapat berupa beberapa point dibawah ini:
1.      Sekolah perlu mempunyai tujuan pendidikan yang jelass
2.      Tujuan pendidikan harus sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing anak
3.      Bahan pelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil
4.      Proses belajar dilakukan secara bertahap
5.      Tekanan pendidikan adalah pada respon yang benar, bukan pada kesalahan anak
6.      Berikan reward terhadap tingkah laku yang benar
7.      Respons yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang
8.      Ujian tes secara teratur perlu diberikan
9.      Buat situasi belajar yang mirip dengan kehidupan nyata
10.  Pendidikan yang baik adalah memberikan pelajaran yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[6]


     [1] Muhibbin Syah, Psikologi belajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2010,  93.
     [2] Mulyati, Psikologi Belajar,  Yogyakarta: Andi,  2005, 38-39.
     [3] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar, Salatiga: STAIN Salatiga Press, hlm. 37
     [4] Mulyati, Psikologi Belajar . . . , 42.
     [5] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar . . . , 40-43
     [6] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar. . . , 44.