A. Aliran Jabariyah
1.
Pengertian
Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata
jabara yang berarti memaksa. kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi
jabariyah (dengan menambah ya’ nisbah) memiliki arti suatu kelompok atau aliran
(isme). Lebih lanjut as-Syahrastani menegaskan baham paham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkan
kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa.[1]
Dalam istilah inggris faham ini disebut
fatalisme atau presdetination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan semua dari semula oleh qadla dan qadar Tuhan.[2]
2.
Asal-usul
kemunculan Jabariyah
Faham al-jabr
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm
bin Shafwan dari Khurasan. Ahmad Amin seorang ahli sejarah pemikiran mengkaji
mengenai kemunculan faham al-jabr, ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa arab
yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak
melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan
sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sifat fatalism.[3]
Di dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya:
Dalam surat
al-An’am: 111
Artinya: Niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika
Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dalam surat ash-Shafat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
Dalam surat al-Anfal: 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu
Artinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dalam surat al-insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Ayat-ayat tersebut
terkesan membawa seseorang pada pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang
menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada dikalangan umat islam hingga
kini walaupun anjurannya telah tiada.[5]
3.
Tokoh
Jabariyah
a.
Jahm
bin Shofwan
Nama lengkapnya
adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari khurasan, bertempat
tinggal di kuffah. Ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat
sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah
Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada
kaitannya dengan agama.
b.
Ja’d
bin Dirham
Al Ja’d adalah sorang Maulana Bani Hakim, yang tinggal di Damaskus.
Ia dibesarkan dalam lingkungan Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula
ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, teteapi
ssetelah tampak pemikiran-pemikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya.
Kemudia Al-Ja’d lari ke Kuffah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta
mentrasfer pemikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarkan.
c.
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husein bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H).
Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah.
d.
Adh-Dhirar
Nama
lengkapnya adalah Dhirar bin Amr.
4.
Doktrin
dan Sub Golongan Jabariyah
Menurut Asy-Syahrastani,
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu ekstrim dan moderat.[6]
Doktrin
Jabariyah ekstrim dengan tokohnya yaitu Jahm bin Shofwan dan Ja’d bin Dirham berpendapat
bahwa segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul atas
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Misalnya, kalau
seorang mencuri, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tetapi timbul karena qadla dan qadar Tuhan menghendaki yang demikian.
Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukan atas kehendaknya, tetapi Tuhanlah yang
memaksanya mencuri.
Manusia, dalam
faham ini, hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, demikian pula manusia
bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan manusia
tidak dapat berbuat apa-apa.[7]
Doktrin-doktrin Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
a.
Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
b.
Surga
dan neraka tidak kekal.
c.
Iman
adalah makrifat atau membenarkan dalam hati.
d.
Kalam
Tuhan adalah makhluk.
e.
Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
f.
Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Doktrin
Jabariyah moderat dengan tokohnya yaitu An-Najjar dan Ad-Dhirar berpendapat
bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan kasab (acquistin). Menurut faham kasab manusia tidaklah majbur
( dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan
tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang
diciptakan Tuhan. Menurut faham ini Tuhan dan manusia bekerja sama dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatan-perbuatannya. Doktrin-doktrin Jabariyah moderat adalah
sebagai berikut:
a.
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
b.
Tuhan
tidak dapat dilihat diakhirat’
c.
Satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan.[8]
B. Aliran Qadariyah
1.
Pengertian
Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan. Adapun
menurut terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[9]
Qadariyah bertolak belakang dengan Jabariyah.
Qadariyah adalah
kelompok yang bersikap ekstrim dalam menetapkan kehendak dan kemampuan manusia,
sehingga meniadakan adanya kehendak, pilihan atau penciptaan Allah dalam setiap
perbuatan manusia.[10]
Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.[11]
2.
Asal-Usul
Kemunculan Qadariyah
Kapan Qadariyah muncul dan siapa
tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Tidak dapat
diketahui kapan aliran ini muncul dalam sejarah perkembanganteologi islam.
Tetapi menurut ahli-ahli teologi islam, Qadariyah pertama kalinya ditimbulkan
oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani
dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengmabil aliran ini dari seorang kristen yang
masuk isalam di Irak.[12] Namanya
adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W.
Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah
terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh
Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan.
Bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh
Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah[13].
3.
Tokoh
Qadariyah
Aliran Qadariyah dipelopori oleh dua
tokoh yaitu Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-Dimasyqi.
Ma’bad al-Jauhani
ia adalah seorang Tabi’in yang baik, ia memasuki lapangan politik dan memihak
kepada ‘Abd al-Rahman Ibn al-Asyias, Gubernur Sajistan, dalam menentang
kekuasaan Bani Umayah. Dalam pertentangan melawan al-Hallaj Ma’bad mati
terbunuh dalam tahun 80-H.
Setelah wafatnya
Ma’bad al-Jauhani Ghailan al-Dimasyqi terus menyebarkan faham Qadiriyah di
Damaskus tetapi mendapet tantangan dari khalifah Umar Ibn ‘Abd al-‘Azis.
Setelah Umar wafat ia melanjutkan kegiatannya yang lama, sehingg ia akhirnya
mati di hukum oleh Hisyam Ibn ‘Abd al-Malik (724-743).[14]
4.
Dokrin
Qadiriyah
Doktrin Qadariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala hal baik berbuat
baik maupun berbuat jahat. Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memilliki
takdir yang tidak dapat diubah manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat
berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh
Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautanlepas.
Akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatig. Dengan daya
pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat
meniru apa yang dimiliki ikan sehingga dia dapat juga berenang di laut lepas.
Disinilah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu
hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang
dimiliki manusia? Siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia? Dan dimana
batas akhir kreatifitas manusia?
Dengan pemahaman semacam ini, kaum
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan
segala perbuatan manusia kepada Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat
pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banayak ayat Al-Qur’an yang dapat
mendukung pendapat ini, misalnya: Dalam surat al-Kahfi:29:
`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù
Artinya: Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
Dalam surat Ali
Imran: 165 disebutkan:
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÏÎÈ
Artinya: Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan
Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam surat
ar-Ra’d: 11 disebutkan:
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ ÇÊÊÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[15]
Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak
merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya
perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki
kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul
pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya?
Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang
absolut?.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak
belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal
dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada
otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu
berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan
Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada
otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Sebagai
penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah
nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama
berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan
perbedaan pendapat dalam Islam.
B. Saran
Disarankan
peunulis selanjutnya dapat menyempurnakan makalah ini, dan semoga bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Daftar Pustaka
Ammar, Abu, Mizanul Muslim 1, Sukoharjo: Cordova Mediatama,
2013
Anwar,
Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisis
perbandingan, Jakarta: UI-Press 1986